top of page

Rusak dan Mangkraknya Pembangkit Surya di Kepulauan Sembilan Sinjai, Dimana Masalahnya?


  • Pulau Sembilan di Kabupaten Sinjai, terdiri dari empat desa yang tersebar di sembilan pulau. Empat desa itu adalah Pulau Buhung Pitue, Pulau Padaelo, Pulau Harapan, dan Pulau Persatuan.

  • Meski telah difasilitasi dengan PLTS, rata-rata kondisinya mangkrak dan rusak. Sebagai contoh PLTS di Pulau Burunglo’e sudah tidak berfungsi sejak 2018, atau sudah dua tahun.

  • Kendala dalam perbaikan fasilitas PLTS yang rusak adalah masalah pendanaan, di sisi lain terdapat persoalan dengan umur ekonomis peralatan dan perbaikan jika ada alat yang rusak.

  • Berbeda dengan pulau yang lain, Kambuno, pulau paling ramai di kepulauan ini telah terfasilitasi dengan PLTD yang dibangun oleh PLN sejak tahun 1999.

Mendung dan hujan rintik-rintik di Pelabuhan Cappa Ujung tidak menyurutkan semangat para awak kapal untuk memindahkan barang-barang penumpang. Karung beras, galon mineral, rak telur dan berbagai bahan makanan pokok lainnya disusun dengan baik di kargo kapal. Barang-barang itu adalah milik warga yang akan dibawa ke pulau.


Pelabuhan Cappa Ujung ini adalah pintu masuk dari Kota Sinjai yang menghubungkan empat desa di sembilan pulau yang masuk dalam gugus Kepulauan Sembilan. Empat desa itu, Pulau Buhung Pitue, Pulau Padaelo, Pulau Harapan, dan Pulau Persatuan.

Setiap hari berbagai kebutuhan primer diangkut dari Kota Sinjai ke gugusan Pulau Sembilan. Setiap kapal memiliki pulau tujuan yang berbeda.


Nama Sembilan sendiri diberikan karena ada sembilan pulau di gugus kepulauan ini, masing-masing Kanalo I, Kanalo II, Larearea, Kodingare, Batanglampe, Katingodang, Liang Liang, Kambuno, dan Burunglo’e. Kadang-kadang penyebutan namanya bisa berbeda.


PLTS yang Mangkrak

Saya mengunjungi salah satu desa dalam gugus kepulauan Sembilan, yaitu Desa Buhung Pitue yang berada di Pulau Burungloe.  Dari Cappa Ujung ditempuh sekitar satu jam dengan kapal nelayan, jika dengan speedboat bisa lebih cepat, hanya sekitar setengah jam saja.


Di desa ini sekurangnya terdapat 500 rumah penduduk, yang terbagi di dalam tiga dusun. Total penduduk sekitar 1.000 jiwa. Masyarakat umumnya tinggal di pesisir, di tengah pulau yang curam masih ada hutan lindung.


Seperti layaknya warga kepulauan lain, warga Buhung Pitue bergantung pada pasokan energi listrik. Sejak 2016, warga menerima bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dari Kementerian ESDM. Namun sayangnya, saat ini kondisinya memprihatinkan.

“Sudah rusak parah. Dua tahun berjalan normal, hingga sampai rusak begitu,” kata Umar warga Pulau Buhung Pitue, pertengahan Agustus lalu. PLTS itu tidak jauh dari rumahnya.


Umar  salah-satu warga yang disegani. Pria berbadan tegap dan bersuara serak ini mengatakan bahwa listrik sangat penting dan menjadi kebutuhan primer warga pulau. Listrik juga penting agar malam tidak menjadi gelap gulita.


Sebelum memasuki tahun 2016, dia menggunakan genset untuk keperluan listrik sendiri. Listrik yang mengalir ke rumahnya adalah hasil inisiatif dia dan tetangganya. Mereka peroleh aliran listrik dari mesin genset, yang mereka usahakan bersama.


Bahan bakar solar mereka beli dari iuran perbulan yang telah disepakati sebelumnya. Namun, iuran kadang bisa berubah karena menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nasional.


Kala mendengar bahwa PLTS akan masuk ke pulau, Umar tentu saja gembira. Bahkan di awal-awal beroperasi dia bisa menikmati listrik yang beroperasi secara normal.


“Masyarakat senang, karena dulu waktu PLTS beroperasi, kita bisa nikmati listrik siang malam,” tandas Umar. Sekarang katanya, warga kembali menggunakan mesin genset secara mandiri.


Dari sisi biaya pun, PLTS sebenarnya lebih murah. Dari hitung-hitungan, jika menggunakan genset, maka biaya solar per bulan bisa mencapai Rp4 juta per bulan. Padahal dengan iuran listrik PLTS per bulan pelanggan hanya dikutip sekitar Rp20 ribu saja. Itu pun listrik menyala non-stop 24 jam per harinya. Dengan kapasitas daya 100 kWp ia dapat menerangi 400 rumah di Desa Buhung Pitue.


Kami harus mendaki untuk sampai ke PLTS, sekitar 5 menit lewat jalan setapak. Saya berjumpa dengan salah satu operator PLTS, Jamaluddin namanya. Dia membenarkan jika kondisi PLTS sekarang rusak parah.


Sejak tahun 2018, -atau sudah dua tahun, dia sebut PLTS ini sudah tidak beroperasi. Kerusakannya, terutama pada bagian komponen baterai dan inverter.


Ungkap Jamaluddin, komponen yang rusak yaitu: 50 modul yang terbakar, kabel putus, baterai 500 buah rusak, ada 36 bolt yang rusak pada mesin. Butuh biaya ratusan juta untuk memperbaiki komponen yang mengalami kerusakan tersebut.


“Untuk sementara, kita masih menunggu perbaikan. Mudah-mudahan pemerintah yang punya wewenang dapat bertindak. Sebelum corona ini, mereka pernah datang ke sini,” sebut Jamaluddin.


Awal kerusakan dimulai dengan tanda-tanda abnormal. Selama tiga hari berturut-turut lampu kadang mati kadang nyala hingga terjadi kerusakan total. Aparat desa menyarankan warga beralih ke genset karena kondisi komponen tidak memadai lagi.

“Waktu itu, saya naik turun kesini untuk memperbaiki kerusakan. Tanda-tanda sudah terbaca di panel kontrol, kabinet battery nomor sekian agak drop. Saya matikan lagi dan saya nyalakan lagi. Begitu seterusnya hingga rusak parah.”


Untuk masalah perawatan PLTS, Jamaluddin mengaku dia pernah ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan energi terbarukan. Mulai dari pengenalan fungsi komponen, perawatan, mekanisme kerja alat, dan lain sebagainya. Bahkan dia mempelajari cara pemasangan instalasi listrik di rumah-rumah warga. Setelah dari Jakarta, Ia bersama pihak ESDM mulai membangun PLTS Desa Buhung Pitue.


Secara umum, PLTS punya beberapa komponen utama. Pertama adalah panel surya. Bagian ini berupa lempengan solar sel yang menyerap energi panas matahari dan mengubahnya menjadi energi listrik.


Kedua adalah baterai, yang fungsinya menyimpan energi listrik yang dimanfaatkan pada malam hari atau ketika tak ada sinar matahari. Ketiga adalah inverter, yang berfungsi untuk mengkonversi arus searah DC menjadi arus bolak-balik AC.


Dengan demikian, jika panel, baterai dan inverter rusak, sudah pasti PLTS ini tidak akan dapat lagi beroperasi.


PLTS yang terbengkalai saat ini sekarang sudah ditumbuhi semak belukar yang menjalar tinggi di pagar. Jamaluddin, menunjukkan kondisi bangunan dan komponen PLTS Buhung Pitue dengan ekspresi muram. Ada senyum kecut di wajahnya. Sejak PLTS rusak, kini Jamaluddin kembali bekerja menjadi seorang nelayan.


Lantas siapa yang harusnya memperbaiki, jika terjadi instalasi PLTS ini rusak dan mangkrak?


Jamaluddin mengira ESDM yang masih mempunyai wewenang dalam pergantian alat yang rusak. “Katanya orang ESDM yang masih punya wewenang untuk memperbaiki. Harapan dari masyarakat PLTS dapat beroperasi normal lagi.”


Selain Pulau Buhung Pitue yang mendapatkan bantuan PLTS, Pulau Liang-liang, Pulau Kanalo I, Pulau Kanalo II, Pulau Batang Lampe dan Pulau Persatuan juga memiliki PLTS. Beberapa pulau ini memiliki kisaran kapasitas daya dari 30 kWp hingga 50 kWp.


“Kabarnya PLTS lain juga tidak beroperasi lagi. Sama, karena alatnya rusak. Ada PLTS yang masih beroperasi, tapi kekuatan dayanya hanya bisa nyalakan lampu jalan saja. Semua warga sudah kembali pakai genset lagi,” jelasnya.


Saat saya menanyakan perihal fasilitas PLTS yang tidak lagi beroperasi, Idham Waris, pejabat dari Dinas Perdagangan dan ESDM Kabupaten Sinjai membenarkan hal ini. Dia bilang telah melaporkan dan mengusulkan perbaikan PLTS di Kepulauan Sembilan kepada ESDM Pusat. Dia berharap biaya perbaikan segera tiba.


“PLTS di pulau kondisi baterainya harus diganti. Sekarang ini tahap revitalisasi untuk perbaikan, tapi karena pandemi COVID-19 progresnya terhenti dan sementara kita tunggu dari kementerian. Ini pakai dana APBN toh. Solusinya kita tetap berusaha memasukkan proposal di kementerian pusat. Kami mau perbaiki tapi tidak ada uang,” ungkap Idham.


Salah satu kendala dalam pengoperasian PLTS, menurut Idham adalah masalah penggantian (replacement) dari unit baterai. Idealnya baterai diganti setelah dua tahun. Untuk unit dalam skala rumah tangga sebutnya akan lebih mudah diperbaiki.


“Kalau PLTS terpusat sudah rusak, itu sama saja dengan buat baru. PLTS tersebar di rumah masing-masing itu lebih efektif [perbaikannya]. Jadi, kalau ada rusak menjadi tanggung jawab sendiri. Itu yang ada di setiap rumah, lebih awet dan pasti mudah perawatannya.”


Kambuno, Satu dari Sembilan yang Selangkah Lebih Maju

Dari kesembilan pulau, maka Kambuno adalah pulau yang paling ramai dan paling banyak penduduknya ketimbang pulau yang lainnya. Pulau kecamatan ini memiliki beberapa fasilitas dan pelayanan umum yang cukup lengkap.


Pulau Kambuno lebih maju dari delapan pulau lainnya. Sejak 1999, keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) membuatnya jadi berbeda. Keberadaan PLTD ini digagas oleh PT PLN Persero UIW Sulsel Radar UP3 Bulukumba ULP Sinjai.


Dengan adanya aliran listrik PLTD, kini sekitar 900 KK warga terjamin kebutuhan energinya. Sebelum tahun 1999, warga Kambuno masih menggunakan listrik hasil swadaya, umumnya menggunakan mesin generator atau genset. Setiap malam suara khas bising mesin genset pasti tidak pernah absen terdengar.


Pada awal PLTD masuk, listrik baru beroperasi enam jam, yaitu dari pukul 6 petang hingga 12 malam. Di Tahun 2008, terjadi penambahan silinder di gardu. Aliran listrik menjadi 12 jam di malam hari.


Saat ini, warga meminta agar listrik dapat menyala selama 16 jam, yaitu dari pukul 5 petang hingga 8 pagi. Alasannya, banyak aktifitas di rumah yang butuh daya listrik.

“Warga minta 16 jam, tapi pengaruh pembayaran (iuran) jadi pertimbangan kami, untuk tidak ditambah,” ujar Ismail, operator PLTD Kambuno menjelaskan.


Ismail salah-satu operator muda. Saat ditemui, Ismail sedang bersiap-siap menyalakan mesin utama. Tepat pukul 18.00 waktu setempat, Ismail dengan cekatan menyalakan ketiga mesin itu secara bergantian. Dia mengaku sering tidak tidur dan harus berjaga untuk mengawasi listrik agar tetap menyala sepanjang malam.


Dia lulusan Jurusan Matematika, Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar. Setelah lulus dia kembali ke pulau dan mencoba mencari pekerjaan. Tak lama dia mendapatkan tawaran kerja dari pihak PLN untuk menjadi operator.


“Disiplin ilmu saya matematika, juga memiliki hubungan mengenai kelistrikan meski sedikit,” akunya.


Total ada tiga orang operator di PLTD di Kambuno. Mereka berasal dari warga setempat, yang telah dilatih untuk merawat mesin dan memperbaiki mesin jika ada kerusakan.

Di dalam gardu terdapat tiga silinder yang akan dinyalakan tepat setiap pukul 6 petang. Dengan alasan efisiensi penggunaan solar, maka satu mesin akan dimatikan. Indikasinya beberapa lampu di rumah warga akan padam.


Kesaksiaan Ismail, satu mesin pernah mengalami kerusakan parah. Kebocoran katanya pernah terjadi pada bagian intake manifold. Komponen alat ini berfungsi sebagai saluran masuk bahan bakar yang dialirkan ke turbocharger. Jika kerusakan terjadi, para operator lalu mengontak atasannya di PLN dari Kota Sinjai.


Usia dan penggunaan yang terus-menerus menyebabkan alat rentan terhadap kerusakan. Mesin bisa tiba-tiba mati mendadak, menyebabkan sebagian desa menjadi gelap gulita. Itu kadang terjadi di lokasi yang jauh dari gardu PLTD.


Menurut Ismail perlu ada penambahan tenaga operator yang bekerja di mesin utama. Bekerja sebagai operator yang harus siap kerja ekstra mengawasi mesin agar tetap nyala. Dia berharap dengan adanya tenaga tambahan, kerja bergantian antar operator dapat diatur sesuai jadwal yang diinginkan.


PLTD Kambuno memiliki tiga mesin silinder, yang mampu menerangi sekitar 900 rumah, total dayanya 10.000 kW. Pelanggan sendiri terdiri dua kategori, yaitu subsidi dan non subsidi.


Beberapa rumah berdaya 450 VA masuk kategori subsidi atau masyarakat kurang mampu. Pelanggan listrik 900 VA masuk kategori warga yang berpenghasilan di atas rata-rata.


Rumah memiliki daya listrik 900 VA membayar iuran sekitar Rp120.000 hingga Rp200.000 per bulan. Kategori kurang mampu dengan daya listrik 450 VA membayar Rp30.000 sampai Rp50.000 per bulan.


Menurut Muhammad Syukri, Kepala Dusun Kambuno, semua rumah telah dialiri listrik.

Alhamdulillah, sekarang setiap rumah telah ada listriknya. Kami senang sekali PLN sudah beroperasi di Kambuno. Kalau gunakan mesin genset seperti zaman dulu itu mahal dan merepotkan. Adanya PLTD, kami sekarang tinggal bayar tiap bulan ke PLN,” ucapnya.


Jika malam menggunakan listrik PLN, maka beberapa rumah menyiasati penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di siang hari ini. Rupanya, panel surya digunakan untuk kelancaran kerja usaha mikro mereka, seperti tukang kayu, penjual es dan lain-lain.


“Ada, tapi tidak banyaklah. Itu dipakai siang hari untuk kebutuhan kerja tertentu,” jelas Syukri sembari menunjuk atap rumah salah-satu warga.


Tempat pelayanan umum seperti puskesmas, kantor desa, kantor polisi, sekolah dan masjid masing-masing memiliki genset untuk mendapatkan arus listrik pada siang hari. Melihat kondisi tersebut, Syukri mengaku telah ada permohonan ke pihak PLN untuk aliran listrik non-stop.


“Sekarang kan zaman online semua. Apalagi sekarang dibangun laboratorium di SMK Kelautan itu dan pasti butuh listrik. Aliran listrik 24 jam sangat perlu, kalau ada listrik, perekonomian warga pasti meningkat.”


Perlu Kesadaran Warga untuk Merawat

Setelah melawat di beberapa pulau di Kepulauan Sembilan, saya menghubungi Hasriadi Masalam, pengamat kebijakan publik yang aktif dalam desiminasi pengetahuan pada masyarakat di Sulawesi Selatan.


Saya bertanya tentang fenomena banyaknya fasilitas PLTS yang rusak dan mangkrak di Kepulauan Sembilan.


Menurut Hasriadi, teknologi yang diinovasikan di tengah-tengah masyarakat harus dilandaskan pada kesadaran, termasuk teknologi dalam bidang energi terbarukan. Sejak awal masyarakat harus mulai diajak untuk mandiri, merawat, dan punya rasa memiliki.


‘Masyarakat selalu memposisikan sebagai penerima bantuan. Dalam mindset pikirannya itu, barang yang diterima adalah barang bantuan bukan sesuatu yang perlu dirawat. Masyarakat sudah kehilangan kemampuan kolektif dan beranggapan bahwa pemerintah mempunyai dana perbaikan kerusakan PLTS. Padahal sebenarnya tidak ada,” jelas Hasriadi.


Kabupaten Sinjai memiliki sumber energi baru terbarukan melimpah. Energi yang memiliki manfaat yang terbilang banyak. Namun hingga saat ini itu belum disadari dan digunakan oleh masyarakat.


Dia menekankan pentingnya edukasi tentang kebermanfaatan energi terbarukan yang harus berjalan kolektif.


“Energi terbarukan sangat bagus dalam jangka panjang. Tapi semua elemen harus saling kolaborasi. Mulai pemerintah, LSM dan seluruh komponen masyarakat. Perlu ada edukasi bagi semua komponen, terlebih di tingkat pemangku desa dan masyarakat perlu ada pendampingan intensif,” pungkasnya.

209 views
bottom of page